Agar Kisah Ini Tak Terulang Lagi, Mati atau Rehabilitasi? 

Caption : Laurel Maulana Royhan
Mahasiswa Prodi Hukum S1, Semester 2,Universitas Pamulang, Kampus Serang

MAHASISWA Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dibunuh lalu dibakar kekasihnya di Desa Banjar, Kecamatan Galis, Bangkalan. Ia dibunuh saat tengah hamil. Begini kronologi kejadian.

Kasus tragis terjadi di Bangkalan, Madura, pada 1 Desember 2024, ketika seorang mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura (EJ, 20 tahun) dibunuh dan dibakar oleh kekasihnya, Moh Maulidi Al Izhaq (21 tahun), yang juga seorang mahasiswa.

Motif utama pembunuhan adalah perselisihan setelah korban menuntut pertanggungjawaban atas kehamilannya yang berusia dua bulan.

Pelaku, yang berupaya menghilangkan jejak, membakar korban di lokasi terpencil setelah membunuhnya.

Pelaku saat ini dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.

Proses hukum sedang berlangsung,dengan pelaku telah ditahan di Polres Bangkalan, perkembangan terbaru dalam kasus pembunuhan mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura (UTM), EJ (20), yang dibunuh dan dibakar oleh pacarnya, Moh Maulidi Al Izhaq (21), menunjukkan bahwa proses hukum sedang berjalan.

Pelaku telah ditangkap dan ditahan oleh Polres Bangkalan. Ia dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang membawa ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara, seumur hidup, atau hukuman mati.

Selain proses hukum pidana, pihak kampus tempat pelaku menempuh pendidikan, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Ibrohimy, telah mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan Maulidi sebagai mahasiswa.

Pihak kampus menegaskan bahwa tindakan pelaku bertentangan dengan norma agama dan pedoman akademik yang mereka junjung.

Saat ini, proses peradilan masih dalam tahap penyidikan dan pengumpulan bukti oleh pihak kepolisian, belum ada informasi terbaru mengenai jadwal persidangan atau putusan pengadilan.

Pihak keluarga korban dan masyarakat luas berharap agar proses hukum berjalan transparan dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Dalam menghadapi kasus pembunuhan yang melibatkan pelaku pemuda, yang didasari oleh faktor psikologis dan tekanan emosional yang tidak dikelola dengan baik, kita perlu mengedepankan asas kausalitas, yaitu bahwa tindakan kekerasan bukan hanya merupakan akibat dari satu kejadian, melainkan hasil dari rangkaian faktor yang saling mempengaruhi.

Hukuman mati atau penjara, meskipun bisa menjadi bentuk hukuman yang tegas, tidak cukup efektif untuk mengatasi akar permasalahan yang mendasari tindak kekerasan tersebut sebab, kejahatan ini terjadi dalam konteks pergaulan bebas di kalangan pelajar dan kurangnya edukasi mengenai pengelolaan perasaan dan tanggung jawab.

Dari sudut pandang psikologi, pelaku yang masih muda seringkali belum memiliki kedewasaan emosional yang cukup untuk mengatasi masalah dalam hubungan, apalagi yang melibatkan isu kehamilan.

Ketika korban menuntut pertanggungjawaban atas kehamilannya, pelaku mungkin merasa tertekan dan tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut secara rasional.

Kekurangannya dalam pengelolaan emosi ini bisa memicu reaksi impulsif, seperti yang terlihat dalam tindakan kekerasan terhadap korban.

Namun, meskipun pelaku dihukum mati atau dipenjara, jika penyebab utama yaitu pergaulan bebas yang tidak terkendali dan kurangnya pendidikan moral tidak ditangani, maka kejahatan serupa kemungkinan besar akan terus terulang.

Oleh karena itu, selain pemberian hukuman, pendidikan yang lebih baik tentang pengelolaan emosi, hubungan yang sehat, dan dampak sosial dari perilaku berisiko harus menjadi fokus utama.

Hukuman yang Tepat untuk Pelaku dalam hal ini, hukuman yang lebih baik bagi pelaku adalah hukuman penjara yang disertai dengan program rehabilitasi dan pembinaan psikologis.

Mengingat usia pelaku yang masih muda, penting untuk memberikan kesempatan bagi dia untuk menjalani evaluasi psikologis guna mengetahui apakah ada faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi tindakannya.

Dengan demikian, hukuman yang diberikan harus mencakup program rehabilitasi mental dan emosional, serta pelatihan tentang nilai-nilai moral dan tanggung jawab.

Selain itu, pelaku juga sebaiknya diberi kesempatan untuk menjalani pembinaan di dalam penjara, dengan tujuan agar dia dapat merenungkan tindakannya, merasa penyesalan yang mendalam, dan berusaha memperbaiki perilakunya di masa depan.

Program rehabilitasi ini akan lebih efektif jika melibatkan konseling psikologis, pelatihan keterampilan hidup, dan pendidikan karakter yang mendalam.

Dengan memberikan hukuman yang disertai dengan rehabilitasi, kita tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memberikan kesempatan bagi dia untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri.

Ini akan lebih efektif dalam mencegah kejahatan serupa di masa depan dan mengurangi kemungkinan siklus kekerasan yang berulang. Selain itu, langkah ini juga memberikan ruang bagi keluarga korban untuk melihat pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya secara lebih manusiawi, meskipun tetap mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya.

Penegakan hukum adalah proses yang lebih dari sekadar menegakkan ketertiban, ia merupakan alat untuk mencapai keadilan yang lebih tinggi.

Hukum bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi tentang memahami bahwa di balik setiap tindakan ada cerita, ada konteks, dan ada kesempatan untuk memperbaiki.

Setiap pelanggaran yang terjadi bukan hanya mencerminkan kesalahan individu, tetapi juga cermin dari kelemahan dalam sistem sosial, pendidikan, dan pengawasan yang ada.

Hukum yang sejati adalah hukum yang memberi ruang untuk pertanggungjawaban, namun juga memberikan kesempatan untuk penebusan dan pembaruan. Itu adalah sistem yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mendorong perubahan dan mencegah terulangnya kesalahan, dengan memperhatikan hak, martabat, dan potensi setiap individu.

Sebagai masyarakat yang beradab, kita harus ingat bahwa hukum yang berkeadilan adalah hukum yang tidak hanya fokus pada balas dendam, tetapi pada penyembuhan dan pemulihan. Hukum harus menjadi sarana untuk membimbing, mengoreksi, dan memberi kesempatan bagi setiap individu untuk kembali ke jalan yang benar.

Keberhasilan sistem hukum tidak terletak pada beratnya hukuman yang dijatuhkan, tetapi pada kemampuan sistem tersebut untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan adil, asas kausalitas mengajarkan kita bahwa tindakan kekerasan ini bukan hanya sekadar akibat dari satu kejadian, tetapi merupakan hasil dari serangkaian faktor yang saling terkait.

Kejahatan ini adalah akibat dari pergaulan bebas yang tidak terkendali dan kurangnya pendidikan tentang dampak sosial dan moral dari keputusan yang diambil.

Jika kita hanya fokus pada hukuman tanpa menyelesaikan akar masalahnya, maka kejahatan serupa akan terus terjadi. Karena itu, penting untuk memberikan edukasi sejak dini tentang konsekuensi dari perilaku kita, agar generasi muda dapat memahami dan menghindari keputusan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.”*** (Laurelhan Royhan)