Soal Bank Banten, AMB Menilai Kebijakan Gubernur Ceroboh

Soal Bank Banten, AMB Menilai Kebijakan Gubernur Ceroboh

 

Penulis:Wahyu |Editor:Yaris 

JUARAMEDIA. COM LEBAK – Sejumlah Pimpinan Organisasi Masyarakat yang bergabung dalam Aliansi Banten Menggugat (ABM) Diantaranya, ISP3B, Kam Banten, PPKB, Barkim, MWR, GPMPB dan Komunitas Juang lainya. Mengkritisi kebijakan Gubernur Banten terkait pemindahan pengelolaan Kas Umum Daerah (KUD) dari Bank Banten ke Bank Jabar Banten (BJB).

” Kami menganggap, sikap Gubernur Banten H. Wahidin Halim terlalu ceroboh dalam mengambil keputusan untuk mengalihkan atau memindahkan pengelolaan Kas Umum Daerah (KUD) dari Bank Banten ke Bank BJB dan itu di nilai cacat secara hukum.” Ujar Arwan ketua ABM dalam konprensi pers, di Warunggunung, Senin (27/4)

Menurut Arwan, S.Pd, M.Si, sikap Gubernur Banten yang mengalihkan KUD Provinsi Banten dari Bank Banten ke BJB tersebut terkesan semaunya dan tidak memikirkan dampak perekonomian atau rusaknya Bank Banten. Padahal menurutnya, Bank Banten adalah salah satu aset milik Provinsi Banten yang sudah bertahun-tahun lamanya ikut serta membangun Banten.

“Menurut kami sikap Gubernur Banten selain ceroboh, ia juga terkesan tidak seperti seorang pemimpin yang mana seharusnya, sebelum ia mengambil keputusan atau tindakan pengalihan/pengelolaan KUD tersebut di kaji terlebih dahulu. Karena tentu ini bukan persolan yang sepele. Jelas sikap Gubernur Banten ini akan Berdampak pada rusaknya Bank Banten yang berlanjut pada perekonomian Rakyat,” katanya.

Berdasarkan UU No 9 tahun 2015, kata Arwan bahwa pemerintah daerah adalah penyelenggraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah.

” Kami juga menyesalkan sikap DPRD Banten yang terkesan abai melewati keputusan strategis daerah ini, yang juga sebagai penyelenggara pemerintahan bersama pemerintah daerah.” Katanya.

Semestinya kata Arwan peran dan fungsi DPRD sebagaimana amanat di dalam undang-undang yaitu untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Namun, disini sambung Arwan pihaknya merasa aneh. Mengapa keputusan Gubernur yang dinilai tergesa-gesa ini terkesan di biarkan.

“Maka dalam hal ini kami meminta DPRD Provinsi banten untuk mengevaluasi kebijakan Gubernur Banten yang tertuang dalam SK No 580/Kep.144-HUK/2020 yang kami nilai cacat hukum. Dan ini akan berakibat fatal pada rusaknya salah satu asset milik provinsi Banten yakni Bank Pembangunan Daerah Provinsi Banten,”tegasnya.

Hal senada dikatakan Adi Firman, SE. Menurutnya, kebijakan Gubernur Banten dalam mengambil sikap itu selain tergesa-gesa, pihaknya juga menilai langkah yang di ambil oleh Gubernur tidak mendapat keputusan yang lahir dari kajian social dan ekonomi yang matang.

” Hal ini terbukti dengan adanyanya keresahan, kepanikan, dan ketakutan masyarakat yang ditimbulkan dari keputusan Gubernur itu. Pasalnya, menurut Adi, keputusan itu terkesan mendadak hingga menjadi issue liar di kalangan masyarakat di tengah pandemi Covid -19. ” katanya.

“Hasil kajian kami, keputusan Gubernur yang mengalihkan atau memindahkan KUD dari Bank Banten ke BJB itu akan mengakibatkan kerugian. Selain itu, rusak asset dan trust pada Bank Pembanungan Daerah (BPD) Provinsi Banten yang notabennya ialah milik Rakyat Provinsi Banten, yakni salah satunya aksi Rush Money, akibat keputusan Gubernur yang tergesa-gesa itu” Imbuhnya.

Adi juga mengaku heran dan mempertanyakan keputusan langkah dan tujuan Gubernur Banten untuk membangun Bank Pembangunan Daerah Provinsi Banten sebagai icon kemandirian dan kebanggaan masyarakat Provinsi Banten sejak 2017. Namun, Gubernur Banten tidak pernah melakukan langkah apapun untuk membangun Bank Banten.

” Seperti Kewajibannya untuk penyertaan modal Pemprov Banten yang tak kunjung terealisasi. Dari total kewajiban 950 M, baru 615 M yang diseratakan Pemprov di awal pembentukannya 2016 lalu” Katanya.

Karena itu kata Ardi sudah sewajarnya mempertanyakan keperdulian Pemprov Banten pada BanK Banten yang selama ini menurutnya telah ikut berperan membangun Banten.

“Selain itu, kami juga mempertanyakan langkah DPRD Banten dalam mengawal pembangunan BPD Provinsi Banten ( kewajiban Penyertaan Modal). Dimana APBD-P 2018 sebesar Rp 175 M gagal terealisasi dan menjadi SILPA. Kembali APBD 2019 yang dianggarkan Rp 175 M” Katanya

Selain itu kata Adi, pihaknya juga juga mempertanyakan langkah DPRD Banten dalam mengawal pembangunan BPD Provinsi Banten ( kewajiban Penyertaan Modal). Dimana APBD-P 2018 sebesar Rp 175 M gagal terealisasi dan menjadi SILPA. Kembali APBD 2019 yang dianggarkan Rp 175 M dikoreksi 131 M, telah di sah kan itu juga kembali gagal terrealisasi, dan Kembali hanya menjadi SILPA, dan APBD 2020, gagal di anggarkan,” paparnya.

Lanjut Adi mempertanyakan, sejauh mana upaya dan dukungan Pemerintah Provinsi Banten, dan DPRD Provinsi Banten dalam mendukung penyertaan modal dengan rights issue Bank Banten.

“Kami meyakini langkah ini di ambil Management Bank Banten karena tidak kunjung mendapatkan kewajiban penyertaan modal dari pemiliknya (Pemprov Banen). Dengan SK No 580/Kep.144-HUK/2020 sepihak dan serampangan. Kami fikir sikap.
Gubernur tanpa melakukan kajian social dan ekonomi terkait dampak yang akan di timbulkan, telah menyebabkan pergolakan, keresahan, ketidak pastian pada public. Apalagi di tengah masa pandemi global. Hingga akhirnya merusak “trust and value” Bank Banten selaku BPD yang kepemilikan mayoritasnya milik Provinsi Banten,”tegas Adi Aktivis Muda sekaligus pengurus Komunitas Juang.

Senada dikatakan Ketua ABM juga Pengurus pergerakan Pejuang Banten, Ketua Kader Masyarakat Pembangunan Banten Asep Safrudin menyampaikan, proses akuisisi Bank pundi oleh Pemprov Banten, menurutnya, sudah pasti mendapatkan arahan dan izin dari Lembaga dan Otoritas terkait, seperti kemendagri dan OJK.

Meski saat proses akuisisi Bank Pundi dalam keadaan merugi, namun dengan proyeksi bisnis jangka menengah dan panjang, pihaknya optimis dapat memiliki bank pembangunan daerah sendiri yang sehat, dengan catatan kewajiban penyertaan modal oleh Pemprov Banten harus segera dilakukan secara bertahap dari total Rp 950 M yang baru terealisasi Rp 615 M, dan kewajiban penyertaan modal itu tidak pernah di direalisasi oleh Pemprov Banten di bawah Kepemimpinan Sdr Wahidin Hali selaku Gubernur Banten .

“Dalam Pandemik Global Covid 19, semua leading sector utamanya perekonomian dan keuangan di seluruh dunia mendapatkan tantangan yang cukup berat agar tetap bisa bertahan dan survive. Proyeksi bisnis tentunya “meleset” diluar target yang telah di tentukan dalam ekspansi bisnisnya,” katanya.

Untuk itu pula kata Asep seluruh Pimpinan Organisasi Masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Banten Menggugat (ABM) akan mempertanyakan, apakah pendapat BI perwakilan Provinsi Banten dalam rapat pembahasan likuiditas Bank Banten 21 April 2020, yang kemudian dijadikan konsederan dasar pengambilan Surat Keputusan Gubernur tentang perelihan RKUD Pemprov banten, termasuk dalam kategori Monopoli Perbankan?

” Karena itu kami akan menyampaikan permohonan penyelidikan pada KPK untuk menindaklanjuti, karena kami menduga telah terjadi tindakan yang melawan hukum dalam pengambilan keputusan strategis tersebut, yang dilakukan dalam rentang waktu yang tidak wajar, yakni hanya per tanggal 21 Arpil saja, tanpa adanya kajian ekonomi dan social terkait dampak yang akan di timbulkan. ” Tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *